Rabu, 27 Januari 2010

“TUNA NETRA PERTAMA BERMATA BIONIK”

“TUNA NETRA PERTAMA BERMATA BIONIK”

 

LONDON Peter lane pria berusia 51 tahun ini menjadi penyandang tuna netra pertama yang menjalani implantasi  piranti elektronik  pada mata. Penanaman perangkat elektronik ini dimaksudkan untuk mengirim  sinyal yang ditangkap kamera di kacamata, kemudian disalurkan ke piranti yang ditanam dimata,lantas piranti itu meneruskannya ke otak melalui saraf optic.

Teknologi baru ini memang sangat dinanti oleh ribuan penyandang tuna netra  di dunia. Implantasi perangkat elektronik pada mata tersebut akan  membantu para penyandang tuna netra  untuk melihat bentuk benda didepannya.

Selain itu teknologi terbaru didunia medis ini akan memudahkan penyandang tuna netra untuk mengenali huruf,walau hanya sekilas tampilannya bagai deretan titik cahaya.

Pria berumur setengah abad ini memang memang patut bahagia setelah tegar dalam kebutaan yang diderita selama bertahun-tahun.

Sejauh ini lane memang baru sanggup membaca kata pendek,namun lane sangat bersyukur . Ia sangat antusias ketika berjalan kaki disekitar rumahnya an melihat sebuah mobil terparkir disebuah pekaranagan, bagi orang yang berpenglihatan normal itu biasa.

Ketika dilahirkan lane tidak memiliki kelainan apapun  pada matanya.Ia tumbuh dengan kondisi mata yang normal, hidupnya berubah ketika berusia 20 tahun . Dokter mendiaknosis bahwa lane menderita penyakit kemunduran genetic , lambat laun penglihatannya menurun  dan akhirnya matanya mengalami kebutaan total.

Pria mancester ini menunjukkan rona wajah bersinar ketika memakai kaca mata canggih tersebut” kaca mata ini membuat saya lebih percaya diri dan mandiri.

Keberhasilan pencangkokan mata bionic  pastinya menjadi kebanggaan bagi pihak pengembangnya. Prusahaan Amerika Serikat (AS) ini didirikan oleh 11 dokter mata yang berdomisili disejumlah Negara didunia.

Tim dokter yang melakukan uji coba mata bionic mengaku terharu ketika mengetahui perkembangan ketiga  pasienya .Awal November lalu salah satu diantaranya bahkan mampu melihat pancaran kembang api untuk pertama kalinya setelah  40 tahun terakhir dalam kegelapan.

Keharuan semakin bertambah ketika  para dokter menerima informasi bahwa lane sudah  mulai mengenali kata-kata pendek.

Pihak Manchester Royal Eye Hospital juga telah meminta lane untuk melengkapi rumahnya dengan proyektor dan layar khusus untuk memperbesar tulisan. Perangkat ini akan memungkinkan lane membaca sendiri surat-surat yang ditujukan kepadanya.

Kamis, 14 Januari 2010

KERUSAKAN HUTAN INDONESIA

KATA PENGANTAR

Saya selaku penulis mengucapkan rasa syukur kepada tuhan yang maha esa, karena telah diberikan kesehatan sampai sekarang ini sehingga dapat membuat makalah yang sederhana ini.

Kerusakan hutan merupakan sesuatu yang sangat berdampak buruk bagi kehidupan manusia maupun makhluk hidup lainnya sehingga kita semua perlu menjaganya dengan sebaik-baiknya agar hutan kita tetap terjaga kondisinya, adapun tujuan dari penulisan makalah ini untuk lebih memahami lagi bagaimana cara menjaga hutan agar tetap baik dari ancaman apapun.

Saya juga mengucapkan terima kasih juga kepada pihak-pihak yang telah bersangkutan dan juga dukungan yang telah diberikan kepada kami semua dan kami siap menerima kritik dan saran apabila terjadi kesalahan dalam penulisan ini dan dalam penulisan ini kami berharap anda semua mencintai hutan yang telah diberikan kepada sang pencipta dan menjaganya dengan baik

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 latar belakang masalah

[1]Hutan merupakan sumber daya alam yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya. Karena itu pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan. Namun gangguan terhadap sumber daya hutan terus berlangsung bahkan intensitasnya makin meningkat.

Kerusakan hutan yang meliputi : kebakaran hutan, penebangan liar dan lainnya merupakan salah satu bentuk gangguan yang makin sering terjadi. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kerusakan hutan cukup besar mencakup kerusakan ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global, dan asap dari kebakaran hutan mengganggu kesehatan masyarakat serta mengganggu transportasi baik darat, sungai, danau, laut dan udara. Dan juga gangguan asap karena kebakaran hutan Indonesia akhir-akhir ini telah melintasi batas negara.

[2]Berbagai upaya pencegahan dan perlindungan kebakaran hutan dan penebangan liar telah dilakukan termasuk mengefektifkan perangkat hukum (undang-undang, PP, dan SK Menteri sampai Dirjen), namun belum memberikan hasil yang optimal. Sejak kebakaran hutan yang cukup besar tahun 1982/83 di Kalimantan Timur, intensitas kebakaran hutan makin sering terjadi dan sebarannya makin meluas. Tercatat beberapa kebakaran cukup besar berikutnya yaitu tahun 1987, 1991, 1994 dan 1997 hingga 2003. Oleh karena itu perlu pengkajian yang mendalam untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan.

Penebangan liar juga dapat berdampak negatif antara lain dapan menyababkan tanah longsor dan banjir. Oleh karena itu hutan kita perlu adanya penjagaan supaya tidak terjadi kebakaran dan penebangan liar dan yang tidak kita inginkan.

Tulisan ini merupakan sintesa dari berbagai pengetahuan tentang hutan, kebakaran hutan dan penebangan liar penanggulangannya yang dikumpulkan dari berbagai sumber dengan harapan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi para peneliti, pengambil kebijakan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi para pencinta lingkungan dan kehutanan.

1. 2 Identifikasi masalah

[3]Api sebagai alat atau teknologi awal yang dikuasai manusia untuk mengubah lingkungan hidup dan sumberdaya alam dimulai pada pertengahan hingga akhir zaman Paleolitik, 1.400.000-700.000 tahun lalu. Sejak manusia mengenal dan menguasai teknologi api, maka api dianggap sebagai modal dasar bagi perkembangan manusia karena dapat digunakan untuk membuka hutan, meningkatkan kualitas lahan pengembalaan, memburu satwa liar, mengusir satwa liar, berkomunikasi sosial disekitar api unggun dan sebagainya (Soeriaatmadja, 1997).

[4]Analisis terhadap arang dari tanah Kalimantan menunjukkan bahwa hutan telah terbakar secara berkala dimulai, setidaknya sejak 17.500 tahun yang lalu. Kebakaran besar kemungkinan terjadi secara alamiah selama periode iklim yang lebih kering dari iklim saat itu. Namun, manusia juga telah membakar hutan lebih dari 10 ribu tahun yang lalu untuk mempermudah perburuan dan membuka lahan pertanian. Catatan tertulis satu abad yang lalu dan sejarah lisan dari masyarakat yang tinggal di hutan membenarkan bahwa kebakaran hutan bukanlah hal yang baru bagi hutan Indonesia.

penyebab utama terjadinya kebakaran hutan di Kalimantan Timur adalah karena aktivitas manusia dan hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh kejadian alam. Proses kebakaran alami menurut Soeriaatmadja (1997), bisa terjadi karena sambaran petir, benturan longsuran batu, singkapan batu bara, dan tumpukan srasahan. Namun menurut Saharjo dan Husaeni (1998), kebakaran karena proses alam tersebut sangat kecil dan untuk kasus Kalimatan kurang dari 1 %.

Kebakaran hutan besar terpicu pula oleh munculnya fenomena iklim El-Nino seperti kebakaran yang terjadi pada tahun 1987, 1991, 1994 dan 1997 (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP, 1998). Perkembangan kebakaran tersebut juga memperlihatkan terjadinya perluasan penyebaran lokasi kebakaran yang tidak hanya di Kalimantan Timur, tetapi hampir di seluruh propinsi, serta tidak hanya terjadi di kawasan hutan tetapi juga di lahan non hutan.

Penyebab kebakaran hutan sampai saat ini masih menjadi topik perdebatan, apakah karena alami atau karena kegiatan manusia. Namun berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia yang berawal dari kegiatan atau permasalahan sebagai berikut:

1. Sistem perladangan tradisional dari penduduk setempat yang berpindah-pindah.

2. Pembukaan hutan oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk insdustri kayu maupun perkebunan kelapa sawit.

3. Penyebab struktural, yaitu kombinasi antara kemiskinan, kebijakan pembangunan dan tata pemerintahan, sehingga menimbulkan konflik antar hukum adat dan hukum positif negara.

[5]Perladangan berpindah merupakan upaya pertanian tradisional di kawasan hutan dimana pembukaan lahannya selalu dilakukan dengan cara pembakaran karena cepat, murah dan praktis. Namun pembukaan lahan untuk perladangan tersebut umumnya sangat terbatas dan terkendali karena telah mengikuti aturan turun temurun (Dove, 1988). Kebakaran liar mungkin terjadi karena kegiatan perladangan hanya sebagai kamuflasa dari penebang liar yang memanfaatkan jalan HPH dan berada di kawasan HPH.

Pembukaan hutan oleh pemegang HPH dan perusahaan perkebunan untuk pengembangan tanaman industri dan perkebunan umumnya mencakup areal yang cukup luas. Metoda pembukaan lahan dengan cara tebang habis dan pembakaran merupakan alternatif pembukaan lahan yang paling murah, mudah dan cepat. Namun metoda ini sering berakibat kebakaran tidak hanya terbatas pada areal yang disiapkan untuk pengembangan tanaman industri atau perkebunan, tetapi meluas ke hutan lindung, hutan produksi dan lahan lainnya.

Sedangkan penyebab struktural, umumnya berawal dari suatu konflik antara para pemilik modal industri perkayuan maupun pertambangan, dengan penduduk asli yang merasa kepemilikan tradisional (adat) mereka atas lahan, hutan dan tanah dikuasai oleh para investor yang diberi pengesahan melalui hukum positif negara. Akibatnya kekesalan masyarakat dilampiaskan dengan melakukan pembakaran demi mempertahankan lahan yang telah mereka miliki secara turun temurun. Disini kemiskinan dan ketidak adilan menjadi pemicu kebakaran hutan dan masyarakat tidak akan mau berpartisipasi untuk memadamkannya.

Sedangkan penebangan liar merupakan suatu kondisi yang sudah tidak asing lagi banyak masyarakat yang tinggal di daerah dekat pegunungan memanfaatkan hutan untuk diambil kayunya,tetapi tanpa meminta izin terlebih dahulu. [6]Dan Akibat Penebangan Hutan, 2.100 Mata Air Mengering

Kelangkaan minyak tanah yang kerap mendera penduduk di berbagai daerah di Banyumas, Jawa Tengah, akhir-akhir ini dikhawatirkan memacu penduduk kembali menggunakan kayu bakar dan menebang pohon tanaman keras.

Jika itu terjadi, kerusakan sumber air (mata air) akan semakin cepat. Di Banyumas saat ini tinggal 900 mata air, padahal tahun 2001 masih tercatat 3.000 mata air.

Setiap tahun rata-rata sekitar 300 mata air mati akibat penebangan terprogram (hutan produksi) maupun penebangan tanaman keras milik penduduk, Akan tetapi akibat berbagai tekanan baik kebutuhan hidup maupun perkembangan penduduk, perlindungan terhadap sumber air maupun tanaman keras atau hutan rakyat semakin berat.

Di lain pihak, penduduk yang di lahannya terdapat sumber air tidak pernah memperoleh kompensasi sebagai ganti atas kesediaannya untuk tidak menebangi pohonnya.

Kesulitan penduduk memperoleh minyak tanah berdampak pada peningkatan penggunaan kayu bakar. Penduduk di daerah pedesaan yang jauh dari pangkalan minyak tanah memilih menebang pohon untuk kayu bakar.

1. 3 Pembahasan masalah

Beberapa tahun terakhir kebakaran hutan terjadi hampir setiap tahun, khususnya pada musim kering. Kebakaran yang cukup besar terjadi di Kalimantan Timur yaitu pada tahun 1982/83 dan tahun 1997/98. Pada tahun 1982/83 kebakaran telah menghanguskan hutan sekitar 3,5 juta hektar di Kalimantan Timur dan ini merupakan rekor terbesar kebakaran hutan dunia setelah kebakaran hutan di Brazil yang mencapai 2 juta hektar pada tahun 1963 (Soeriaatmadja, 1997).

Kemudian rekor tersebut dipecahkan lagi oleh kebakaran hutan Indonesia pada tahun 1997/98 yang telah menghanguskan seluas 11,7 juta hektar. Kebakaran terluas terjadi di Kalimantan dengan total lahan terbakar 8,13 juta hektar, disusul Sumatera, Papua Barat, Sulawesi dan Jawa masing-masing 2,07 juta hektar, 1 juta hektar, 400 ribu hektar dan 100 ribu hektar (Tacconi, 2003).

Selanjutnya kebakaran hutan Indonesia terus berlangsung setiap tahun meskipun luas areal yang terbakar dan kerugian yang ditimbulkannya relatif kecil dan umumnya tidak terdokumentasi dengan baik. Data dari Direktotar Jenderal Perlindungan hutan dan Konservasi Alam menunjukkan bahwa kebakaran hutan yang terjadi tiap tahun sejak tahun 1998 hingga tahun 2002 tercatat berkisar antara 3 ribu hektar sampai 515 ribu hektar (Direktotar Jenderal Perlindungan hutan dan Konservasi Alam, 2003).

1. 3. 1 Kerugian yang ditimbulkannya

[7]Kebakaran hutan akhir-akhir ini menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan dan ekonomi khususnya setelah terjadi kebakaran besar di berbagai belahan dunia tahun 1997/98 yang menghanguskan lahan seluas 25 juta hektar. Kebakaran tahun 1997/98 mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi menelan biaya ekonomi sekitar US $ 1,6-2,7 milyar dan biaya akibat pencemaran kabut sekitar US $ 674-799 juta. Kerugian yang diderita akibat kebakaran hutan tersebut kemungkinan jauh lebih besar lagi karena perkiraan dampak ekonomi bagi kegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia. Valuasi biaya yang terkait dengan emisi karbon kemungkinan mencapai US $ 2,8 milyar (Tacconi, 2003).

Hasil perhitungan ulang kerugian ekonomi yang dihimpun Tacconi (2003), menunjukkan bahwa kebakaran hutan Indonesia telah menelan kerugian antara US $ 2,84 milayar sampai US $ 4,86 milyar yang meliputi kerugian yang dinilai dengan uang dan kerugian yang tidak dinilai dengan uang. Kerugian tersebut mencakup kerusakan yang terkait dengan kebakaran seperti kayu, kematian pohon, HTI, kebun, bangunan, biaya pengendalian dan sebagainya serta biaya yang terkait dengan kabut asap seperti kesehatan, pariwisata dan transportasi.

1. 3. 2 Dampak Kebakaran Hutan

[8]Kebakaran hutan yang cukup besar seperti yang terjadi pada tahun 1997/98 menimbulkan dampak yang sangat luas disamping kerugian material kayu, non kayu dan hewan. Dampak negatif yang sampai menjadi isu global adalah asap dari hasil pembakaran yang telah melintasi batas negara. Sisa pembakaran selain menimbulkan kabut juga mencemari udara dan meningkatkan gas rumah kaca.

Asap tebal dari kebakaran hutan berdampak negatif karena dapat mengganggu kesehatan masyarakat terutama gangguan saluran pernapasan. Selain itu asap tebal juga mengganggu transportasi khususnya tranportasi udara disamping transportasi darat, sungai, danau, dan laut. Pada saat kebakaran hutan yang cukup besar banyak kasus penerbangan terpaksa ditunda atau dibatalkan. Sementara pada transportasi darat, sungai, danau dan laut terjadi beberapa kasus tabrakan atau kecelakaan yang menyebabkan hilangnya nyawa dan harta benda.

Kerugian karena terganggunya kesehatan masyarakat, penundaan atau pembatalan penerbangan, dan kecelakaan transportasi di darat, dan di air memang tidak bisa diperhitungkan secara tepat, tetapi dapat dipastikan cukup besar membebani masyarakat dan pelaku bisnis. Dampak kebakaran hutan Indonesia berupa asap tersebut telah melintasi batas negara terutama Singapura, Brunai Darussalam, Malaysia dan Thailand.

Dampak lainnya adalah kerusakan hutan setelah terjadi kebakaran dan hilangnya margasatwa. Hutan yang terbakar berat akan sulit dipulihkan, karena struktur tanahnya mengalami kerusakan. Hilangnya tumbuh-tumbuhan menyebabkan lahan terbuka, sehingga mudah tererosi, dan tidak dapat lagi menahan banjir. Karena itu setelah hutan terbakar, sering muncul bencana banjir pada musim hujan di berbagai daerah yang hutannya terbakar. Kerugian akibat banjir tersebut juga sulit diperhitungkan.

Analisis dampak kebakaran hutan masih dalam tahap pengembangan awal, pengetahuan tentang ekosistem yang rumit belum berkembang dengan baik dan informasi berupa ambang kritis perubahan ekologis berkaitan dengan kebakaran sangat terbatas, sehingga dampak kebakaran hutan sulit diperhitungkan secara tepat. Meskipun demikian, berdasarkan perhitungan kasar yang telah diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa kebakaran hutan menimbulkan dampak yang cukup besar bagi masyarakat sekitarnya, bahkan dampak tersebut sampai ke negara tetangga.

Sejak kebakaran hutan yang cukup besar yang terjadi pada tahun 1982/83 yang kemudian diikuti rentetan kebakaran hutan beberapa tahun berikutnya dan juga penebangan liar yang terjadi di indonesia ini sebenarnya telah dilaksanakan beberapa langkah, baik bersifat antisipatif (pencegahan) maupun penanggulangannya.

Upaya yang telah dilakukan untuk mencegah kebakaran hutan dilakukan antara lain :

(a) Memantapkan kelembagaan dengan membentuk dengan membentuk Sub Direktorat Kebakaran Hutan dan Lembaga non struktural berupa Pusdalkarhutnas, Pusdalkarhutda dan Satlak serta Brigade-brigade pemadam kebakaran hutan di masing-masing HPH dan HTI;

(b) Melengkapi perangkat lunak berupa pedoman dan petunjuk teknis pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan;

(c) Melengkapi perangkat keras berupa peralatan pencegah dan pemadam kebakaran hutan.

(d) Melakukan pelatihan pengendalian kebakaran hutan bagi aparat pemerintah, tenaga BUMN dan perusahaan kehutanan serta masyarakat sekitar hutan.

(e) Kampanye dan penyuluhan melalui berbagai Apel Siaga pengendalian kebakaran hutan.

(f) Pemberian pembekalan kepada pengusaha (HPH, HTI, perkebunan dan Transmigrasi), Kanwil Dephut, dan jajaran Pemda oleh Menteri Kehutanan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup.

(g) Dalam setiap persetujuan pelepasan kawasan hutan bagi pembangunan non kehutanan, selalu disyaratkan pembukaan hutan tanpa bakar.

Upaya pencegahan agar tidak terjadi penebangan liar diantaranya :

a. Hutan kita yang belum ada penjaga hutan harus diadakannya penjagaan agar tidak terjadi pencurian.

b. Diberikan larangan supaya para penebang liar tidak melakukan pencurian

c. Diberikan sanksi barang siapa yang mengambil hasil hutan dengan sengaja.

Disamping melakukan pencegahan, pemerintah juga nelakukan penanggulangan melalui berbagai kegiatan antara lain :

(a) Memberdayakan posko-posko kebakaran hutan an juga penjagaan di semua tingkat, serta melakukan pembinaan mengenai hal-hal yang harus dilakukan selama siaga I dan II.

(b) Mobilitas semua sumberdaya (manusia, peralatan & dana) di semua tingkatan, baik di jajaran Departemen Kehutanan maupun instansi lainnya, maupun perusahaan-perusahaan.

(c) Meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait di tingkat pusat melalui PUSDALKARHUTNAS dan di tingkat daerah melalui PUSDALKARHUTDA Tk I dan SATLAK kebakaran hutan dan lahan.

(d) Meminta bantuan luar negeri untuk memadamkan kebakaran antara lain: pasukan BOMBA dari Malaysia untuk kebakaran di Riau, Jambi, Sumsel dan Kalbar.

1.3.3 Peningkatan Upaya Pencegahan dan Penanggulangan

Upaya pencegahan dan penanggulangan yang telah dilakukan selama ini ternyata belum memberikan hasil yang optimal dan kebakaran hutan masih terus terjadi pada setiap musim kemarau. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain:

a. Kemiskinan dan ketidak adilan bagi masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan.

b. Kesadaran semua lapisan masyarakat terhadap bahaya kebakaran masih rendah

c. Kemampuan aparatur pemerintah khususnya untuk koordinasi, memberikan penyuluhan untuk kesadaran masyarakat, dan melakukan upaya pemadaman kebakaran semak belukar dan hutan masih rendah.

d. Upaya pendidikan baik formal maupun informal untuk penanggulangan kebakaran hutan belum memadai.

Hasil identifikasi dari serentetan kebakaran hutan menunjukkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia dan faktor yang memicu meluasnya areal kebakaran adalah kegiatan perladangan, pembukaan HTI dan perkebunan serta konflik hukum adat dengan hukum negara, maka untuk meningkatkan efektivitas dan optimasi kegiatan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan perlu upaya penyelesaian masalah yang terkait dengan faktor-faktor tersebut.

Di sisi lain belum efektifnya penanggulangan kebakaran disebabkan oleh faktor kemiskinan dan ketidak adilan, rendahnya kesadaran masyarakat, terbatasnya kemampuan aparat, dan minimnya fasilitas untuk penanggulangan kebakaran, maka untuk mengoptimalkan upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan di masa depan antara lain:

a. Melakukan pembinaan dan penyuluhan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan, sekaligus berupaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya kebakaran hutan dan semak belukar.

b. Memberikan penghargaan terhadap hukum adat sama seperti hukum negara, atau merevisi hukum negara dengan mengadopsi hukum adat.

c. Peningkatan kemampuan sumberdaya aparat pemerintah melalui pelatihan maupun pendidikan formal. Pembukaan program studi penanggulangan kebakaran hutan merupakan alternatif yang bisa ditawarkan.

d. Melengkapi fasilitas untuk menanggulagi kebakaran hutan, baik perangkat lunak maupun perangkat kerasnya.

e. Penerapan sangsi hukum pada pelaku pelanggaran dibidang lingkungan khususnya yang memicu atau penyebab langsung terjadinya kebakaran.

1. 4 Tujuan pembahasan

Dari semua apa yang tertulis atau apa yang dibahas diatas bahwa dalam menciptakan hutan yang indah dan lestari, kita sebagai bangsa indonesia wajib menjaga dan melestarikan alam hutan kita agar tetap terjaga dengan baik, agar tidak terjadi kebakaran hutan dan juga penebangan-penebangan liar.

Apabila semua yang telah ditetapkan dalam pemerintahan tidak diperhatikan dengan baik dan dilaksanakan maka dampaknya pun akan terjadi pada penerus-penerus kita nanti.telah dijelaskan bahwa banyak dampak negatif yang terjadi apabila terjadi kebakaran dan penebangan hutan, maka dari itu kita semua harus mencegahnya agar tidak terjadi apa yang tidak kita inginkan di tahun yang akan mendatang.dan apabila semua sudah terjadi maka kita bangun kembali apa yang telah dirusaknya agar menjadi asri kembali.

Dan tujuan dari semua ini yaitu untuk mengingatkan pada semua orang bahwa dampak dari kebakaran dan penebangan liar ini akan membuat alam kita menjadi hancur dan banyak akan terjadi kerusakan –kerusakan akibat dari perbuatan kita sendiri, maka dari itu kita semua harus menjaganya dengan baik agar hutan kita tetap terjaga dengan baik.

1. 5 Metode pengumpulan data

Isi dari semua ini dikumpulkan dari beberapa sumber dan penelitian.dan juga apa yang kita dapatkan dari beberapa sumber di bahas ulang kembali yaitu dicari malalui internet maupun dicari dengan cara menanyakan kepada orang yang bekerja dalam kehutanan setempat agar tidak terjadi kesalahpahaman.

1. 6 Sistematika penyajian

Dalam penulisan ini penyajiannya dengan mengumpulkan sumber-sumber yang telah di dapatkan dan menuliskannya kembali dengan bahasa yang baik dan benar. Dan juga menambahkan apa yang kurang jelas dan kurang dalam penulisannya maupun kurang dimengerti oleh orang banyak.Penulisan makalah ini saya tulis dengan sebaik-baiknya dan banyak penambahan tulisan maupun bahasanya.

BAB II

KERUSAKAN HUTAN INDONESIA

Kerusakan yang terjadi di hutan indonesia merupakan suatu kejadian yang sangat tiddak menyenangkan bagi warga negara indonesia karena Hutan merupakan sumber daya alam yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya. Karena itu pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan. Namun gangguan terhadap sumber daya hutan terus berlangsung bahkan intensitasnya makin meningkat.

Kerusakan hutan yang meliputi: kebakaran dan penebangan liar merupakan contoh yang tidak baik dan semua peristiwa ini pastinya ada dampak dan juga pencegahannya tetapi kita juga jangan menganggap semuanya adalah hanya peristiw yang biasa-biasa saja karena perlu ada pembelajaran dan pelatihan khusus supaya dapat secara langsung mempraktekkannya dan membuat hutan kita menjasi lebih nyaman untuk dilihat dan dikunjungi banyak orang.

BAB III

PENUTUP

3. 1 Kesimpulan

Sebagai penutup tulisan ini dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut:

1. Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai harganya karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, dan sebagainya. Karena itu pemanfaatan dan perlindungannya diatur oleh Undang-undang dan peraturan pemerintah.

2. Kebakaran dan penebangan liar merupakan salah satu bentuk gangguan terhadap sumberdaya hutan dan akhir-akhir ini makin sering terjadi. Kebakaran dan penebangan hutan menimbulkan kerugian yang sangat besar dan dampaknya sangat luas, bahkan melintasi batas negara. Di sisi lain upaya pencegahan dan pengendalian yang dilakukan selama ini masih belum memberikan hasil yang optimal. Oleh karena itu perlu perbaikan secara menyeluruh, terutama yang terkait dengan kesejahteraan masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan.

3. Berbagai upaya perbaikan yang perlu dilakukan antara lain dibidang penyuluhan kepada masyarakat khususnya yang berkaitan dengan faktor-faktor penyebab kebakaran hutan, peningkatan kemampuan aparatur pemerintah terutama dari Departemen Kehutanan, peningkatan fasilitas untuk mencegah dan menanggulagi kebakaran hutan, dan penebangan liar ,pembenahan bidang hukum dan penerapan sangsi secara tegas

4. Akibat penebangan hutan,2100 mata air mengering dan akibat dari penebangan juga mengakibatkan kerusakan sumber air (mata air) akan semakin cepat.

3. 2 Saran

Bagi para pembaca makalah ini dan juga semua orang bahwa hutan merupakan sumber kehidupan bagi manusia apabila hutan sudah tidak ada lagi maka kehidupan manusia akan berubah dan kemiskinan akan terjadi. Maka dari itu menjaga kelestarian hutan jangan lah dianggap mudah.

Dan bagi para pecinta alam ,teruskanlah usaha penjagaan itu dengan sebaik-baiknya dan juga tingkatkan kewaspadaan terhadap orang-orang yang mau merusaknya, cegah agar tidak terjadi kerusakan dihutan kita ini.


Daftar Pustaka

Danny, W., 2001. Interaksi Ekologi dan Sosial Ekonomi Dengan Kebakaran di Hutan Propinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Paper Presentasi pada Pusdiklat Kehutanan. Bogor. 33 hal.

Direktotar Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2003. Kebakaran Hutan Menurut Fungsi Hutan, Lima Tahun Terakhir. Direktotar Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Jakarta.

Dove, M.R., 1988. Sistem Perladangan di Indonesia. Suatu studi-kasus dari Kalimantan Barat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 510 hal.

Soemarsono, 1997. Kebakaran Lahan, Semak Belukar dan Hutan di Indonesia (Penyebab, Upaya dan Perspektif Upaya di Masa Depan). Prosiding Simposium: “Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Sumberdaya Alam dan Lingkungan”. Tanggal 16 Desember 1997 di Yogyakarta. hal:1-14.

Soeriaatmadja, R.E. 1997. Dampak Kebakaran Hutan Serta Daya Tanggap Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam Terhadapnya. Prosiding Simposium: “Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Sumberdaya Alam dan Lingkungan”. Tanggal 16 Desember 1997 di Yogyakarta. hal: 36-39.

Schweithelm, J. dan D. Glover, 1999. Penyebab dan Dampak Kebakaran. dalam Mahalnya Harga Sebuah Bencana: Kerugian Lingkungan Akibat Kebakaran dan Asap di Indonesia. Editor: D. Glover & T. Jessup

Saharjo dan Husaeni, 1998. East Kalimantan Burns. Wildfire 7(7):19-21.

Tacconi, T., 2003. Kebakaran Hutan di Indonesia, Penyebab, biaya dan implikasi kebijakan. Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor, Indonesia. 22 hal. http://www.cifor.cgiar.org/Publiction/occasional paper no 38 (i)/html

Sumber: Kompas,


[1] Danny, W., 2001. Interaksi Ekologi dan Sosial Ekonomi, Bogor. 33 hal.

[2] Direktotar Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2003

[3] Soeriaatmadja, R.E. 1997.“Dampak Kebakaran Hutan ”. Desember 1997 di Yogyakarta. hal: 36-39.

[4] Schweithelm,j dan D.glover, 1999

[5] Dove, M.R., 1988. Sistem Perladangan di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 510 hal

[6] Sumber : kompas.

[7] Tacconi, T., 2003 Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor, Indonesia. 22 hal.

[8] Soemarsono, 1997, Dampak Kebakaran Hutan, Tanggal 16 Desember 1997 di Yogyakarta. hal:1-14.